Konsep tentang ‘ruang publik’ dimunculkan oleh Habermas (1962) yang merujuk kepada sebuah ruang yang menyediakan kebebasan dan keterbukaan berpendapat. Akses untuk ke ruang publik semestinya tanpa biaya, dan menjamin kebebasan untuk berkumpul dan/atau menyatakan pendapat. Karena itu dalam sebuah ruang publik harus bebas dari diskriminasi agar dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Di masa pemerintahan Orde Baru (Soeharto) dan Orde Lama (Soekarno), negara yang mestinya menyediakan ruang publik ternyata tidak melakukan kewajibannya. Negara memiliki otoritas terhadap publik sehingga ruang publik pun nyaris tak ada.
Pasca reformasi, atas nama kebebasan dan demokrasi maka kita membayangkan sebuah ruang publik sebagai medan pertarungan ideology dan opini melalui mekanisme simbol dan bahasa, agar pandangan masyarakat yang terbaik dapat terbentuk. Namun keberadaan technology yang datang bersama media masa seperti TV dan internet, menjadikan posisi ruang publik bukan lagi tempat untuk memperoleh solusi terbaik, karena ruang publik malah justru menjadi ruang indoktrinisasi politik dari hegemoni kelompok yang memegang kendali terhadap media tersebut.
Ternyata kita memang tidak dapat melepaskan diri dari hegemoni kekuasaan serta hegemoni kapital (yang saat ini semakin mantap untuk mengubah ruang publik dari tempat diskusi bebas menjadi ruang iklan komersial yang mampu membeli hegemoni politik).
Ruang publik saat ini telah berubah menjadi wilayah konsumsi masa yang dijajah oleh komersialisasi perusahaan raksasa dan kaum elite politik dominan. Maka yang terjadi saat ini adalah ruang publik yang tidak ada publik di dalamnya. Opini publik muncul dalam pemberitaan sekarang bukanlah lagi milik publik karena dengan mudah dapat direkayasa para elite media, politik, maupun ekonomi.
Lalu, pernahkah rakyat bangsa ini merdeka dengan ruang publiknya? Benarkah rakyat selalu dan selamanya dijajah oleh para elite sehingga tidak pernah punya ruang publik? Jangan-jangan hegemoni elite ekonomi & politik diruang publik saat ini sudah menjelma jadi penampakan sebuah penjajahan baru yang nyaris sempurna, sehingga kita menikmatinya tanpa rasa gundah.
MASIH ADAKAH RUANG PUBLIK DI NEGERI INI?
di 12.49 0 komentar
COLLECTIVISM vs INDIVIDUALISM
UUD 45 Antidemokrasi ?
Paham ’kolektivisme (gotongroyong)’ versus paham ’individualisme
Akhir-akhir ini terjadi perdebatan pro dan kontra kembali ke UUD 1945 yang asli yang disahkan oleh sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Undang-undang dasar sangat penting bagi eksistensi suatu bangsa, lebih tepatnya bagi eksistensi suatu negara dari suatu bangsa. Maka persoalan UUD 1945 Republik Indonesia, baik yang asli maupun yang telah diamandemen 4 kali, adalah masalah penting bagi kita bangsa Indonesia. Presiden SBY sendiri telah memberikan pandangannya mengenai tuntutan kembali ke UUD 45 yang asli. Kita menyambut baik semua pikiran dan pendapat yang diajukan secara terbuka melalui berbagai media, sebagai tanda kepedulian kita semua terhadap undang-undang dasar negara Republik Indonesia.
Seperti halnya semua UUD di semua negara, UUD 45 pun
tentu tidak sempurna. Perlu dilakukan amandemen terus menerus sesuai dengan perkembangan jaman. Empat kali amandemen UUD 45 kita telah menyempurnakan sebagian isi undang-undang dasar tersebut, seperti : negara Indonesia adalah negara hukum. (Bab I, pasal 1 ayat 3); seorang presiden yang sama hanya boleh menjabat 2 kali masa jabatan (Bab III, pasal 7 ); anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN (Bab XIII, pasal 31, ayat 4), dsbnya.
Disamping penyempurnaan, amandemen juga mengubah sistem pemilihan kekuasaan eksekutif dari ”sistem demokrasi perwakilan” yang selama ini kita anut menjadi ”sistem demokrasi langsung”. Kepala kekuasaan eksekutif seperti presiden, gubenur, bupati tidak lagi dipilih oleh wakil-wakil rakyat melalui MPR, DPRD tingkat I, DPRD tingkat II, tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu presiden, gubenur dan bupati. Perubahan sistem pemilihan kekuasaan eksekutif dari pusat sampai ke daerah ini pada hakekatnya telah melanggar salah satu sila dasar negara kita - Panca Sila dan Pembukaaan UUD 45 itu sendiri. Padahal, semua fraksi DPR yang melakukan perubahan tersebut sepakat untuk tetap menjadikan Panca Sila sebagai dasar negara dan juga sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 45. Bukankah kejadian ini merupakan suatu keanehan ? Persetujuan atas Panca Sila sebagai dasar negara dan Pembukaan UUD 45 tidak bisa lain harus menyetujui sistem demokrasi ”perwakilan rakyat, musyawarah dan mufakat” (Panca Sila 1 Juni 1945) dan prinsip ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” (Pembukaaan UUD 45). Apakah gejala ini bukan suatu sikap tidak terpuji lain kata, lain perbuatan ?
Satu pendapat mengatakan bahwa kelemahan mendasar UUD 45 yang asli terletak pada paham integralistik dengan penjelasan ” eksistensi institusi MPR ini yang dikatakan merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan karena itu memegang dan menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat sehingga memiliki kekuasaan tertinggi. Ketika MPR terbentuk, rakyat tak lagi memiliki kedaulatan sebab telah habis diserahkan kepada MPR dalam bentuk pemberian suara pada pemilu. Dengan dipilihnya Presiden oleh MPR, kedaulatan rakyat habis dipegang dan dijalankan oleh Presiden. Konsekuensinya Presiden memiliki kewenangan yang luas dan tak terbatas. ( Kembali ke UUD 45, Anti Demokrasi, Kompas, 10 Juli 2006).
Benarkah menurut UUD 45 presiden memiliki kewenangan yang luas dan tak terbatas ?.Apakah bukan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas dan tak bisa dikontrol ?Untuk memahami hal ini baiklah kita bandingkan bagaimana perbedaan UUD 45 yang asli dengan UUD 45 Amandemen dalam menetapkan kekuasaan eksekutif dari pusat hingga daerah.
Menurut UUD 45 yang asli :
• MPR terdiri dari anggota-anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat- yang dipilih oleh rakyat, ditambah dengan utusan-utusan daerah, golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
• MPR menetapkan Undang-undang dasar dan garis-garis besar haluan negara;
• MPR memilih presiden dan wakil presiden.
Pemilihan presiden oleh MPR merupakan pelaksanaan sila demokrasi perwakilan rakyat, musyawarah dan mufakat dari dasar negara Panca Sila dan pelaksanaan Pembukaan UUD 45 “Kerayatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan”. Sebelum memilih presiden, MPR harus menetapkan GBHN yang harus dilaksanakan oleh presiden terpilih. Dengan demikian, selain berpegang kepada undang-undang dasar, kekuasaan presiden sebagai kepala kekuasasan eksekutif, juga dibatasi oleh GBHN. Bila menyeleweng dari UUD 45 dan GBHN, presiden dapat dikontrol dan ditegur, bahkan diberhentikan oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Menurut UUD 45 Amandemen :
• Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Disini rakyat digiring untuk memilih seorang presiden dan setelah menang, presiden tersebut hanya dibatasi oleh undang-undang dasar yang bersifat umum. Tidak ada lagi GBHN yang merupakan tujuan dan strategi bangsa selama 5 tahun. Dalam sistem ini, seorang presiden berhak menentukan kebijakan negara selama 5 tahun sesuai penafsirannya sendiri terhadap undang-undang dasar. Bila seorang presiden memanipulasi penyewengan kekuasaan yang diembannya, amat sulit menarik kembali mandat rakyat yang telah diberikan kepadanya seorang dan akan terjadi perdebatan berkepanjangan sampai masa jabatannya berakhir.
Dari kedua sistem pemilihan presiden ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa sistem pemilihan presiden secara langsung hasil amandemenlah yang cenderung memberikan “kewewenangan yang luas dan tak terbatas kepada seorang presiden. Maka amandemen tentang sistem pemilihan kekuasaan eksekutif dari pusat sampai ke daerah ini merupakan kemunduran dalam sistem ketatanegaraan kita.
Negara Indonesia adalah insitusi bersama yang mengayomi seluruh kepentingan bangsa Indonesia. Maka pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara Indonesia tentu juga harus mengayomi seluruh kepentingan bangsa Indonesia. Di jaman kapitalisme sekarang ini, kapital, apakah itu kapital global ataupun kapital nasional berusaha mempengaruhi kekuasaan negara agar dapat menguntungkan kepentingan mereka. Ini terjadi dimana-mana. Kita tahu bahwa adalah watak dari kapital yang selalu mencari untung tanpa mempedulikan kepentingan rakyat maupun lingkungan hidup. Pembatasan pengaruh buruk kapital pada negara hanya dapat dilakukan oleh masyarakat/rakyat yang terorganisasi.
Dewasa ini kapital global sangat gencar mengkampanyekan ideologi neo-liberal. Mereka mengusung pemilihan langsung kekuasaan eksekutif sebagai senjata ampuh dalam menghadapi kekuatan masyarakat/rakyat yang terorganisasi. Kaum neo-liberal merasa mendapat hambatan bila suatu negara menganut sistem pembentukan kekuasaan eksekutif melalui demokrasi perwakilan, karena mereka harus mempengaruhi banyak wakil-wakil rakyat yang tentu tidak semuanya akan dapat mereka pengaruhi. Maka dengan mempropagandakan sistem pemilihan langsung bagi pembentukan kekuasaan eksekutif, mereka dapat menceraiberaikan kekuatan masyarakat yang terorganisasi menjadi individu-individu yang terpisah satu sama lain bagaikan butiran-butiran pasir yang terceraiberai. Bersamaan dengan itu, kaum neo-liberal mengecam sistem pemilihan kekuasaan eksekutif Indonesia yang melalui MPR sebagai ”permainan elite politik”. Pemilihan presiden secara langsung, sama saja menyuruh rakyat memilih seorang diktatur, karena setelah sang calon menang dalam pemilu, maka ia akan menjalankan programnya sendiri. Hal ini berbeda dengan sistem pemilihan tidak langsung, dimana MPR kita yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang berjumlah ratusan itu, pertama-tama mendiskusikan dan menyusun GBHN, kemudian memilih presiden yang bertanggungjawab melaksanakan GBHN tersebut. Dengan mudah dadpat dilihat manakah yang lebih demokratis : rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada satu orang atau kepada ratusan wakil-wakilnya ?
Disamping menghancurkan sistem pemilihan tidak langsung kita, kaum neo-liberal juga mencoba menguasai rakyat dengan semacam organisasi yang sangat tergantung kepada individu, yaitu LSM. Maka dalam suatu masa menentang sistem otoritarian Orde Baru, kaum neo-liberal memberikan banyak bantuan bagi sejumlah LSM yang katanya untuk membantu melahirkan sistem demokrasi di Indonesia. Yang sebenarnya adalah kaum neo-liberal menggunakan kesempatan dimana rakyat Indonesia sedang menentang otoritarianisme Orde Baru, melancarkan liberalisasi sistem politik dan ekonomi Indonesia. Tak percaya ? Pelajarilah dengan seksama Letter of Intent yang ditandatangani antara IMF kepada Pemerintah Orde Baru, Januari 1998 ! Sayangnya sementara kaum intelektual kita tidak bisa membedakan antara ”demokratisasi” dengan ”liberalisasi”.!
Pertarungan antara kedua sistem pemilihan kekuasaan eksekutif ini merupakan pertarungan antara ’ideologi individualisme’ dengan ’ideologi kolektivisme’ alias gotongroyong. Tergantung kita, dimanakah kita akan berpijak. Sebagai suatu bangsa, kita tentu menginginkan bangsa Indonesia berhasil mencapai cita-citanya membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dan tujuan itu hanya dapat dicapai bila kedaulatan rakyat berada ditangan wakil-wakil rakyat, bukan ditangan seorang individu !
Marilah kita mengambil sikap menuntut agar dilakukan amandemen kembali terhadap ”UUD 45 Amandemen”. Apanya yang perlu diamandemen kembali ? Yaitu : kembali kepada sistem demokrasi perwakilan sesuai dengan Panca Sila dan Pembukaaan UUD 45 itu sendiri. Hanya dengan sistem pemilihan kekuasaan eksekutif melalui perwakilanlah rakyat dapat mengontrol pemerintah agar tidak menjadi kapital global seperti sekarang ini. Hanya rakyat Indonesia yang terorganisasi dengan baik melalui sistem demokrasi perwakilanlah yang akan mampu mengembalikan kedaulatan negara ketangan rakyat Indonesia !
di 08.45 0 komentar
Antara Kegagalan, kegamangan dan Harapan ParPol Berbasis Islam
Setelah bangkti kembali dari tidurnya selama setengah abad, kinerja partai berbasis islam ternyata belum banyak berubah.mereka masih banyak mengandalkan basis normative kewajiban syraiah dan jumlah nominal pemilih muslim. Dengan demikian tampa reformasi pemahaman terhadap pola perilaku pemilih muslim tersebut bisa diduga berakibat partai berbasis islam akan kembali gagal menjadi mayaroritas
Disisi lain masa muslim cenderung tidak menjadikan pilihan politik sebagai pilihan keagamaan, tatapi sebagai ekpresi petemanan selain pola hubunan kliental.bagian terbesar dri masa islam adalah buruh dan petani, jauh lebih berteman dengan elite local diluar refrensional keagamaan daripada elite partai.hal ini mengapa imbauan MUI agar memilih partai berbasis islam tidak di gubris. Umat memilih jalan tengah, memilih elite yang mampu, bagi mereka keislaman pemimpin adalah bonus track.
Sebenarnya hubungan kliental atau petemanan bisa menjadi dasar strategi bagi parpol islam , namun diperlukan infrast politik yaitu gerakan danrkutur dan suprastruktur organsiasi yang kuat. Persoalanya berbagai kegiatan social dawkah dijadikan pendekatan cultural sebagai dasar startegi disatu pihak dan syariah sebagai paradigm dipihak lain. Dengan demikian pola gerakan dakwah bisa mengembangkan pola hubungan perkoncoan dengan masa umat.
Secara social kultur,sebenarnya pilihan politik umat tidak selalu karena rendahnya komitmen keagamaan. Bagi kebanyakan masyarakat , pusat kehidupan mereka bukan pada keagamaan formal, melainkan dunia spritual , sebagai akibat belitan kehidupan yang semakin sulit. Karena itu tradisi yang berafiliasi dengan ritual budaya berbasis agama seperti,selamatan tahlilan kenduri lebih penting dari ritual formalistis.
Gerakan islam gagal menjadikan umat islam nyaman di rumahnya sendiri. Gerakan dakwah lainya bersifat dokrinal normative lebih banyak bicara salah benar, neraka syurga dengan membuat batas yang tegas antara tradisi, seni rakyat dengan hukum syrariah.
Dalam sejarah, Sarekat Islam pimpinan Hos Cokro mampu menjadikan sosio culture dan dimensi syariah menyatu sebagai gerakan perlawanan identitas.PNI dan PKI berhasil menjadikan tradisi agama dan seni rakyat sebagai pola hubungan clienan mereka,sehingga partai itu menjadi identik dengan semangat kelas.Di pemilu 1999, ada 150 partai berdiri meski hanya 49 yang ikut serta, dan mayoritas adalah politik aliran dan keagamaan namun, PDIP keluar sebagau pemenang karena mereka mampu mengakomdasi tradisi agama, semangat perubahan dan rumah bagi semua golongan, bagaimana dengan partai bebrbasis agama, PAN, PKB dan PPP hanya mampu dipapan menengah.
Sementara khutbah dan dakwah selalu meneriakan ancaman atas tradisi agama dan seni rakyat yang di anggap sebagai dosa dan acaman akidah .disi lain, Tampa berusaha menjadi problem solving bagi kesulitan kesulitan social ekonomi, yang menjadi sebab munculnya tradisi keagamaan dan seni rakyat.
Disini letak kegamangan pilihan politik umat, disatu sisi ada hukum syariah disatu sisi harus
mengimplemtasikan prinsip prinsip demokrasi .dua pemilu 2004 dan 2009 memberi kenyataan pahit bagi gagalnya partai berbasis islam dalam menghadapi kompetisi demokrasi yang semakin bebas dan transparan.
Umat membutuhkan sosok institusi politik yang kredibel, aspiratif dan problem orientatif untuk keluar dari keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan. Gerakan islam generasi yang berjuang melalui Parpol sekarang gagal mengidentfikasi diri sebagai isntitusi politik yang pantas bagi umat, menjadi bait al jannah bagi umat untuk lebih maju dan baik lagi. Apalagi saat ini parpol berbasis islam belum punya identitas yang jelas, masih terombang ambing oleh angin politik yang sedang kencang saat ini.
Masa Depan : Behenti Berteriak, berubahlah?
Tampaknya hanya PKS yang mengalami kenaikan suara dibanding tigas saudara mereka yaitu, PAN-PKB- dan PPP yang mengalami trend penurunan dari pemilu 1999, 2004 dan 2009. PAN saat ini bersusah payah lepas dari bayang baying kemuhamadiyahan meski tak bisa dipungkiri pemilih PAN mayoritas adalah warga Muhamadiyah. PKB masih terbelit konflik dan mengubah streotipikal partai berbasis pemilih tradisional ini. Dan PPP yang memang sedang bertranspomasi politik yang lebih mapan dan segmentatif.
Pola perilaku clienan saat ini cenderung hilang, yang menjadi dasar adalah hubungan politik konsumen-produsen. Partai yang benar benar memperjuangkan kehendak rakyat akan dipilih, karena saat ini pesaing politik seperti Golkar Partai Demokrat memberi ruang bagi kebinekaragaman dengan isu isu nasionalis-religius. PDIP meski di anggap merah, mendirikan baitul muslimin dan hati hati pada isu isu nasionalisme dan keislaman.
Partai Islam harus mengubah strategi politiknya tampa harus meninggalkan khittah nya, yaitu partai berbasis dakwah. Kini pilihan politik ada pada bagaimana mengombinasikan keinginan (want) kebutuhan (nedd) dan harapan (expectation). Dengan memantapkan identitas sembari mengenjot kader partai untuk bertransformasi diri menjadi kader professional, berkemampuan dan berkpribadian islam (anti KKN).
Selian itu masih haris diperhatikan model atau pendakatan alternative yang adalam khasanah islam dikenal sebagai sufisme. Model ini lebih mementingkan dimensi esoteric (batin dan spiritual) dari pada model syariiah. Pendekatan model sufi yang batiniah dan subtantansial, mungkin bsia menjadi dasar bagi pengembangan hubungan social yang lebih menghargai kebergamaa rakyat apa adanya. Di berbagai Negara, hubungan politik terletak pada kesadaran politik yang hakiki dimana mental spiritual menjadi penyambung antara rakyat dengan amirul mukminin. Bagaimana pun juga Umat butuh sosok pemimpin seperti khalifah yang disatu sisi adil dilain pihak merangkul semua dalam ikatan keagamaan yang kuat.
Penulis :
Nurcahya Abdullah (Peneliti Indopol Institute)
di 04.57 0 komentar