Setelah bangkti kembali dari tidurnya selama setengah abad, kinerja partai berbasis islam ternyata belum banyak berubah.mereka masih banyak mengandalkan basis normative kewajiban syraiah dan jumlah nominal pemilih muslim. Dengan demikian tampa reformasi pemahaman terhadap pola perilaku pemilih muslim tersebut bisa diduga berakibat partai berbasis islam akan kembali gagal menjadi mayaroritas
Disisi lain masa muslim cenderung tidak menjadikan pilihan politik sebagai pilihan keagamaan, tatapi sebagai ekpresi petemanan selain pola hubunan kliental.bagian terbesar dri masa islam adalah buruh dan petani, jauh lebih berteman dengan elite local diluar refrensional keagamaan daripada elite partai.hal ini mengapa imbauan MUI agar memilih partai berbasis islam tidak di gubris. Umat memilih jalan tengah, memilih elite yang mampu, bagi mereka keislaman pemimpin adalah bonus track.
Sebenarnya hubungan kliental atau petemanan bisa menjadi dasar strategi bagi parpol islam , namun diperlukan infrast politik yaitu gerakan danrkutur dan suprastruktur organsiasi yang kuat. Persoalanya berbagai kegiatan social dawkah dijadikan pendekatan cultural sebagai dasar startegi disatu pihak dan syariah sebagai paradigm dipihak lain. Dengan demikian pola gerakan dakwah bisa mengembangkan pola hubungan perkoncoan dengan masa umat.
Secara social kultur,sebenarnya pilihan politik umat tidak selalu karena rendahnya komitmen keagamaan. Bagi kebanyakan masyarakat , pusat kehidupan mereka bukan pada keagamaan formal, melainkan dunia spritual , sebagai akibat belitan kehidupan yang semakin sulit. Karena itu tradisi yang berafiliasi dengan ritual budaya berbasis agama seperti,selamatan tahlilan kenduri lebih penting dari ritual formalistis.
Gerakan islam gagal menjadikan umat islam nyaman di rumahnya sendiri. Gerakan dakwah lainya bersifat dokrinal normative lebih banyak bicara salah benar, neraka syurga dengan membuat batas yang tegas antara tradisi, seni rakyat dengan hukum syrariah.
Dalam sejarah, Sarekat Islam pimpinan Hos Cokro mampu menjadikan sosio culture dan dimensi syariah menyatu sebagai gerakan perlawanan identitas.PNI dan PKI berhasil menjadikan tradisi agama dan seni rakyat sebagai pola hubungan clienan mereka,sehingga partai itu menjadi identik dengan semangat kelas.Di pemilu 1999, ada 150 partai berdiri meski hanya 49 yang ikut serta, dan mayoritas adalah politik aliran dan keagamaan namun, PDIP keluar sebagau pemenang karena mereka mampu mengakomdasi tradisi agama, semangat perubahan dan rumah bagi semua golongan, bagaimana dengan partai bebrbasis agama, PAN, PKB dan PPP hanya mampu dipapan menengah.
Sementara khutbah dan dakwah selalu meneriakan ancaman atas tradisi agama dan seni rakyat yang di anggap sebagai dosa dan acaman akidah .disi lain, Tampa berusaha menjadi problem solving bagi kesulitan kesulitan social ekonomi, yang menjadi sebab munculnya tradisi keagamaan dan seni rakyat.
Disini letak kegamangan pilihan politik umat, disatu sisi ada hukum syariah disatu sisi harus
mengimplemtasikan prinsip prinsip demokrasi .dua pemilu 2004 dan 2009 memberi kenyataan pahit bagi gagalnya partai berbasis islam dalam menghadapi kompetisi demokrasi yang semakin bebas dan transparan.
Umat membutuhkan sosok institusi politik yang kredibel, aspiratif dan problem orientatif untuk keluar dari keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan. Gerakan islam generasi yang berjuang melalui Parpol sekarang gagal mengidentfikasi diri sebagai isntitusi politik yang pantas bagi umat, menjadi bait al jannah bagi umat untuk lebih maju dan baik lagi. Apalagi saat ini parpol berbasis islam belum punya identitas yang jelas, masih terombang ambing oleh angin politik yang sedang kencang saat ini.
Masa Depan : Behenti Berteriak, berubahlah?
Tampaknya hanya PKS yang mengalami kenaikan suara dibanding tigas saudara mereka yaitu, PAN-PKB- dan PPP yang mengalami trend penurunan dari pemilu 1999, 2004 dan 2009. PAN saat ini bersusah payah lepas dari bayang baying kemuhamadiyahan meski tak bisa dipungkiri pemilih PAN mayoritas adalah warga Muhamadiyah. PKB masih terbelit konflik dan mengubah streotipikal partai berbasis pemilih tradisional ini. Dan PPP yang memang sedang bertranspomasi politik yang lebih mapan dan segmentatif.
Pola perilaku clienan saat ini cenderung hilang, yang menjadi dasar adalah hubungan politik konsumen-produsen. Partai yang benar benar memperjuangkan kehendak rakyat akan dipilih, karena saat ini pesaing politik seperti Golkar Partai Demokrat memberi ruang bagi kebinekaragaman dengan isu isu nasionalis-religius. PDIP meski di anggap merah, mendirikan baitul muslimin dan hati hati pada isu isu nasionalisme dan keislaman.
Partai Islam harus mengubah strategi politiknya tampa harus meninggalkan khittah nya, yaitu partai berbasis dakwah. Kini pilihan politik ada pada bagaimana mengombinasikan keinginan (want) kebutuhan (nedd) dan harapan (expectation). Dengan memantapkan identitas sembari mengenjot kader partai untuk bertransformasi diri menjadi kader professional, berkemampuan dan berkpribadian islam (anti KKN).
Selian itu masih haris diperhatikan model atau pendakatan alternative yang adalam khasanah islam dikenal sebagai sufisme. Model ini lebih mementingkan dimensi esoteric (batin dan spiritual) dari pada model syariiah. Pendekatan model sufi yang batiniah dan subtantansial, mungkin bsia menjadi dasar bagi pengembangan hubungan social yang lebih menghargai kebergamaa rakyat apa adanya. Di berbagai Negara, hubungan politik terletak pada kesadaran politik yang hakiki dimana mental spiritual menjadi penyambung antara rakyat dengan amirul mukminin. Bagaimana pun juga Umat butuh sosok pemimpin seperti khalifah yang disatu sisi adil dilain pihak merangkul semua dalam ikatan keagamaan yang kuat.
Penulis :
Nurcahya Abdullah (Peneliti Indopol Institute)
Antara Kegagalan, kegamangan dan Harapan ParPol Berbasis Islam
juniantama ade putra
di 04.57
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar