Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.
Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.
Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Bagaimana perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu mereka? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai tempat jin buang anak? Bagaimana sampai ada yang kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius? Siapa Princess of Madani yang mereka kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak berkilat-kilat? Bagaimana sampai Icuk Sugiarto, Arnold Schwarzenegger, Ibnu Rusyd, bahkan Maradona sampai akhirnya ikut campur? Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogi.
Negeri Lima Menara adalah novel pertama A. Fuadi. Diterbitkan Gramedia pertengahan Agustus 2009. Novel ini bagian pertama dari trilogi.
http://negeri5menara.com/
Sinopsis "Negeri 5 Menara"
di 13.13 0 komentar
Breaking Dawn (serial Lanjutan twilight)
Truk tua Bella akhirnya benar-benar mati. Dan bergabung dengan keluarga Cullen yang lain, Bella mulai menikmati mobil-mobil mahal berkecepatan tinggi yang dijual terbatas di pasaran. Kehidupan mulai berputar cepat di sekelilingnya. Ayah dan ibunya menyetujui dengan mudah pertunangannya dengan Edward, tidak seperti bayangannya. Meski dengan bayang-bayang Jacob yang pergi untuk menyembuhkan luka hatinya, akhirnya hari pernikahan itu tiba juga. Edward berada di sisinya mengucapkan janji setia selama masa eksistensi mereka.
Bulan madu yang semula dirancang indah ternyata menjadi awal yang sangat buruk untuk hubungan mereka. Kekuatan vampir Edward yang luar biasa ternyata membuat tubuh manusia Bella yang ringkih terluka. Belum cukup hingga di situ Bellaharus dihadapkan dengan kenyataan bahwa dia ternyata hamil. Buah cintanya terhadap Edward tumbuh di perutnya sebagai seorang monster yang haus darah.
Penuh keberanian, melawan semua usul dan nasihat keluarga Cullen, Bella bertahan untuk tidak mau menggugurkan kandungannya meski dia harus bertaruh nyawa. Di saat kritis, kehadiran sahabat lama, Jacob, sangat menolongnya dan Edward untuk melalui hari-hari buruk mereka.
Setelah melalui penderitaan panjang akibat janin monster yang dikandungnya, Bella pun meregan nyawa di meja persalinan. Edward pun akhirnya mengambil keputusan yang selama ini adalah ide yang paling ditentangnya, yaitu merubah Bella menjadi vampir.
Hari-hari Bella sebagai seorang vampir pun dimulai, dengan buah hatinya, Renesmee, yang ternyata merupakan penjelmaan separuh manusia separuh vampir. Lalu masalah yang timbul adalah bagaimanakah Bella harus menjelaskan kepada ayahnya bahwa dia sekarang telah menjadi vampir, seperti halnya keluarga suaminya? Atau bagaimanakah dia harus menerangkan kalau sesungguhnya Jacob yang periang itu adalah manusia serigala? Dan bahwa ayahnya telah memiliki cucu yang separo manusia separo vampir dengan segala bakat anehnya?
http://id.shvoong.com/books/1839098-breaking-dawn/
di 12.54 0 komentar
danau ranau, sejuta keindahan dalam setiap tetesannya..
Danau Ranau adalah danau terbesar kedua di Sumatera, danau ini tercipta dari gempa besar dan letusan vulkanik dari gunung berapi yang membuat cekungan besar. Terletak pada posisi 4�51′45″bujur selatan dan 103�55′50″bujur timur.
Secara geografis topografi danau ranau adalah perbukitan yang berlembah hal ini praktis menjadikan danau Ranau memiliki cuaca yang sejuk.
Danau ranau sendiri terdapat di dua Provinsi, yaitu provinsi Lampung (Lampung Barat) dan Provinsi Sumatera Selatan (OKU). Luas danau ranau adalah sekitar 8 x 16 km dengan latar beralakang gunung seminung.
Pada malam hari udara sejuk dan pada siang hari cerah suhu berkisar antara 20 derajat-26 derajat Celsius. Diatas perbukitan dan lembah sekitar danau terdapat perkebunan kopi, tembakau, cengkeh, kayu manis dan palawija.
Lokasi wisata yang dapat anda kunjungi adalah kawasan wisata Lombok Ranau, Kabupaten Lampung Barat.
Terdapat berbagai fasilitas di kawasan wisata Lombok Ranau saat ini, diantaranya adalah penginapan, tempat makan makanan tradisional dan fasilitas-fasilitas lain yang tentu sangat menyenangkan. Bagi anda yang menyukai suasana asri dan tenang, maka tidak salah jika anda memilih danau ranau sebagai tempat berlibur anda.
Semoga anda menikmati...
di 12.42 0 komentar
TES KEMAMPUAN LOGIKA
Teka-teki ini tidak mengandung trik, hanya murni LOGIKA
ALBERT EINSTEIN menyusun teka-teki ini pada abad yang lalu. Dia menyatakan 98% penduduk dunia tidak mampu memecahkan teka-teki ini. Apakah anda termasuk yang 2%?
• Ada 5 buah rumah yang masing-masing memiliki warna yang berbeda.
• Setiap rumah dihuni oleh pria dengan kebangsaan yang berbeda-beda.
• Setiap penghuni menyukai satu jenis minuman tertentu, merokok satu merk rokok tertentu dan memelihara satu jenis hewan tertentu.
Tidak ada satu pun dari kelima orang tersebut yang minum minuman yang sama, merokok merk rokok yang sama dan memelihara hewan yang sama seperti penghuni yang lain.
PERTANYAANNYA : Siapakah yang memelihara IKAN?
PETUNJUK :
1. Orang Inggris tinggal di dalam rumah yang berwarna merah.
2. Orang Swedia memelihara anjing.
3. Orang Denmark senang minum teh.
4. Rumah berwarna hijau terletak tepat disebelah kiri rumah berwarna putih.
5. Orang yang merokok Pall Mall memelihara burung.
6. Penghuni rumah yang terletak direngah-tengah senang minum susu.
7. Penghuni rumah yang berwarna kuning merokok Dunhill.
8. Penghuni rumah berwarna hijau senang minum Kopi.
9. Orang Norwegia tinggal di rumah paling pertama.
10. Orang yang merokok Marlboro tinggal disebelah orang yang memelihara Kucing.
11. Orang yang memelihara Kuda tinggal disebelah orang yang merokok Dunhill.
12. Orang yang merokok Winfield senang minum Bir.
13. Disebelah rumah yang berwarna Biru tinggal orang Norwegia.
14. Orang Jerman merokok Rothmans.
15. Orang yang merokok Marlboro bertetangga dengan orang yang minum air putih.
* dikutip dari catatan Levi Tuzaidi
di 10.28 0 komentar
POLITIK + ISLAM = GOOD
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.
Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
Politik sendiri sebenarnya bermakna sangat luas, tidak saklek, tidak sempit. Dan pembahasan di atas saya sangat sepakat sekali, maka perlu ada pemahaman ulang kepada umat tentang makna politik itu sendiri sehingga masyarakat tidak pobi dengan kata politik. Dalam arti, masyarakat akan memiliki sense of politic yang lebih baik. Sebagai contoh ilustrasi saya gambarkan seperti ini
Saya hendak membeli 1 kotak es krim, tapi saya hanya punya uang 1000 rupiah, sedangkan harga es krim itu 10rb rupiah. Lantas saya berpikir bagaimana caranya dalam waktu 3 hari saya mendapatkan uang sebesar 9000 rupiah untuk beli es krim. Lalu saya mencari part time job dengan penghasilan 3000 per hari, sehingga dalam waktu 3 hari saya sudah bisa beli es krim.
Cara saya merekayasa bagaimana mendapatkan uang 9000 adalah politik.
* dikutip dari catatan Emi Refniyati
di 09.58 0 komentar
Ayah, Jadilah Sahabatku
Renungan di Hari Jumat, semoga bermanfaat
Saya selalu senang mendengar cerita teman-teman saya tentang keluarga mereka. Ibu-ibu bercerita tentang anak-anak, tentang suami mereka, mertua atau tetanggga mereka. Tidak untuk menggosip atau membuka aib, tetapi untuk menyerap ilmu dan pengalaman berharga yang telah mereka alami tapi belum pernah saya rasakan.
Dari berbagai topik obrolan, yang paling menarik menurut saya adalah cerita keluarga dari sudut pandang seorang ayah.
Ada salah satu obrolan yang sangat berkesan buat saya, ketika seorang teman saya, sebut saja Pak Abi, ia bercerita tentang anak lelakinya yang sekarang sudah sekolah TK.
Suatu hari dia kewalahan menjawab pertanyaan anak sulungnya. Pasalnya, seorang pemuda tetangga mereka ditangkap oleh polisi dan penangkapan tersebut diiringi dengan tembakan peringatan. Medengar letusan senjata api Pak Abi berlari keluar untuk cari tahu tentang kejadian itu. Saat kembali ke rumah ia diserbu pertanyaan dari anaknya.
“Abi, tadi ada apa? Kok ada bunyi senapan?” tanya sang anak.
“Ada orang jahat ditangkap polisi,” jelas Pak Abi singkat.
“Siapa, Abi? Aku kenal nggak Bi?” kerjarnya penuh rasa ingin tahu.
“Orang belakang. Kamu nggak kenal.” ujar Pak Abi.
Tapi sang anak belum menyerah. “Namanya siapa sih, Bi? Biar aku tau.”
Kali ini dengan tegas Pak Abi menjawab, “Kamu nggak perlu tau!”
Dasar memang anak yang gigih, dengan cerdas ia kembali bertanya, “Memangnya Abi nggak suka kalau aku banyak tau?”
Dengan sabar Pak Abi melontarkan jawaban pamungkas. “Bukannya Abi nggak suka kamu banyak tahu, tapi nggak semua hal kamu harus tau.”
Cerita Pak Abi sampai disitu. Saya mendengar dengan serius dan sudah tidak sabar ingin bertanya.
“Pak, kenapa Bapak tidak kasi tau saja nama pemuda tersebut?” tanya saya. Saya benar-benar tidak mengerti, apa susahnya menjawab pertanyaan tersebut? Karena kalau saya berada di posisi Pak Abi, saya mungkin akan menyebutkan namanya dan ini menjadi alat yang saya gunakan untuk menakut-nakuti supaya dia tidak nakal.
“Kalau saya kasi tau, saya khawatir kejadian ini melekat dalam ingatannya. Ketika dia keluar rumah dan bermain dengan teman-temannya dia mungkin akan bercerita pada teman-temannya kalau Si X itu adalah orang Jahat.”
Saya mengangguk-angguk. Oh, begini rupanya cara mendidik anak, saya berkata dalam hati, mencoba mencerna semua penjelasan Pak Abi. Sesaat kemudian obrolan kami berganti topik. Giliran Pak Abi bertanya-tanya, mengapa anak-anak sekarang begitu berani bertanya, bahkan berani mendebat penjelasan orang tuanya.
“Padahal saya dulu waktu kecil pendiam. Nggak banyak ngomomong,” ujar Pak Abi.
Giliran saya yang memutar otak, “Mungkin karena dulu Bapak nggak ada kesempatan untuk banyak ngobrol dengan ortu kali, Pak?”
“Mungkin juga. Tapi saya rasa, karena sekarang saya memposisikan diri saya dengan anak saya adalah sebagai teman. Sementara dulu relasi saya dengan Bapak saya adalah relasi “Ayah-Anak”.
Saya mengangguk. Selama ini Pak Abi menurut saya adalah sosok ayah yang unik, dia membahasakan dirinya dan anaknya dengan sebutan “Aku dan Kamu”, bukan “Abi dan Kamu” atau “Ayah dan anak”. Awalnya saya merasa janggal, tapi saat itu saya melihat bahwa ini salah satu cara untuk meminimalkan kesenjangan dalam hubungan anak dan orang tua.
Tiba-tiba saya merasa iri. Saya membandingkan dengan diri saya, mengingat kembali bagaimana hubungan saya dengan Bapak. Tanpa mengurangi hormat dan bakti saya pada beliau, saya merasa “jarak” dengan Bapak terlanjur jauh. Jangankan menjadi “Teman”, menjadi “Ayah dan Anak” saja saya baru merasakannya setelah saya cukup dewasa. Jarang sekali komunikasi dua arah antara saya dengan Bapak. Meski sekarang saya berusaha mengambil hati beliau, dan beliau juga tampak seperti ingin memiliki kedekatan dengan saya namun itu tidak pernah bisa menebus puluhan tahun waktu yang terlewat. Mengingat ini membuat mata saya hangat dan bertelaga.
Bila kelak Allah ijinkan saya memiliki anak-anak, saya ingin anak-anak saya menjadikan Ayah dan Ibu mereka sebagai teman dan sahabat pertama mereka sebelum mereka menemukan teman di tempat bermain atau di sekolah. Ketika sahabat mereka datang dan pergi silih berganti, mereka selalu dapat menemukan sahabat sejati menunggu di rumah, siap mendengarkan segala curhat mereka kapan saja dan tentang apa saja.
Saya kurang tahu, apakah menjadi ayah dari seorang anak perempuan lebih mudah daripada menjadi Ayah dari seorang anak laki-laki. Tapi apapun amanah yang Allah percayakan, semoga hanya saya anak Laki laki terakhir di dunia ini yang pernah merasakan “berjarak” dengan ayahnya sendiri, dan tidak ada lagi ayah di dunia ini yang menyesal di hari tuanya karena hanya sedikit atau bahkan tidak mengenal putra-putri mereka.
Salam hormat buat Ayahanda tercinta, serta seluruh lelaki yang telah menjadi ayah. Kami, anak-anakmu, tidak hanya membutuhkan materi, tapi kami butuh pelukan, usapan di kepala atau sekedar sedikit waktu untuk menyawab pertanyaan kehidupan yang semakin pelik.
di 09.35 0 komentar
Innalillahi….? “HMI Telah Mati” (refleksi dalam milad HMI ke-63th)
(Sebuah Refleksitas atas Gerakan HMI di Indonesia berwajah Lain dalam Quo Vadis HMI ke-63 Tahun) Tanggal 5 Februari 2010 rentang usiah yang cukup matang bagi sebuah organisasi mahasiswa ekstrauniversiter yang tertua di Indonesia yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mencapai usia 63 tahun, usia matang sebuah organisasi mahasiswa. Sejak berdiri 1947, HMI melewati lima zaman yang watak dan tantangannya berbeda dan terkristal dalam citra, budaya, network, dan sistem HMI seperti sekarang ini. Walaupun melewati berbagai zaman itu, normal atau kritis, cita-cita HMI ternyata tetap seperti ketika lahir, yaitu: (1) mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan NKRI, dan (2) menegakkan syiar Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dengan cita-cita itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menyatakan HMI, bukan saja berarti Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi juga, HMI (Harapan Masyarakat Indonesia). Namun apakah HMI mampu bertahan mepertahankan idealisme sebagai kader bangsa dan keder ummat atas panggung perjuangan ummat dan bangsa, seperti yang dicita-citakan yang memang layak untuk dikenang. Peran dan kepeloporan yang pernah dimainkan HMI dan para alumninya di masa lalu dapat dijadikan hikmah yang tersimpan bagi bekal perjalanan di masa mendatang.
Ketika didirikan 05 Februari 1947 lalu, HMI berdiri di bawah semangat keislaman dan keindonesiaan secara bersamaan dan sinergis, bukan dikhotomik. Dua semangat itu dikawinkan, diharmonisasi dan diracik dalam bentuk cita-cita dan tujuan HMI. Agar HMI tidak mati suri dalam hantaman ombak pragmatisme yang bergelombang, pertannyaan kemudian adalah sudahkah kader-kader HMI melanjutkan perjuangan yang di cita-citakan itu???; seberapa banyak mahasiswa islam yang mengikuti LK-1 (Latihan Kader) HMI di berbagai kampus-kampus pada kekinian, seberapa banyak kader-kader yang nongkrong di warung kopi untuk berpikir dalam sebuah realitas, berapa orang kader HMI yang suka diskusi, berapa orang kader HMI yang suka menulis, sudahkah anda merebut perubahan, sudahkan anda menorehkan idemu di media, sudahkah anda berkarya, sudahkah anda melakukan tindakan yang cuanter terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat kecil local maupun nasional, sudahkah anda berjuang untuk kaum mutadh’afin, sudahkah anda diakui punya prestasi di kampus, sudahkah HMI mencetak kader-kader sarjana yang predikat cum law, sudahkah kader HMI yang tugas akhir (Skripsinya) di perdebatkan oleh para akademisi maupun intelektual, sudahkah pemikiran anda di pergolakan dengan sintesis lain, dan sejauhmana eksistensi dan idealisme anda di petaruhkan demi kebenaran dan keadilan yang konon anda suda belajar di lingkungan HMI hari ini. Jangan-jangan anda salah masuk dalam organissi? Ingat HMI adalah salah satu organisasi onderbounw kepemudaan dan kemahasiswaan yang bertujuan : “ Terbinanya insane akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang di ridhoi oleh Allah SWT” (Konstitusi PB.HMI).
Memang secara statistic dan kuantitas tidak begitu penting, dalam ukuran perkaderan tetapi kita perlu melakukan sebuah indicator-indikator untuk mengetahui sejauh mana aktivis HMI yang masih berada pada ruang-ruang intelektual, independen dan perjuangan seperti yang di cita-citakan sebelumnya. Melihat perjalanan HMI dengan 8 faktor latar belakang berdirinya HMI, Tujuan HMI yang pertama sampai kongres di Palembang masih tetap kokoh, tujuh butir pemikiran awal HMI yaitu (Aspek poltik, pendidiakan, budaya, ekonomi, hokum, da’wah islam, dan keharusan pembahuruan islam) (Lihat Agus Sitompul; “Pemikiran HMI dan Relefansisnya dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia”. 1997.hlm:58), Tafsir Tujuan, AD/ART HMI, NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan), Indenpendensi HMI yang selalu menyertai karakter, nilai dan potensi yang sangat menjiwai perjalanan HMI sebagai organisasi mahasiswa islam, sehingga kader HMI mampu membiasakan nuansa-nuansa intelektual dan selalu actual, maka jati diri dan karakter HMI inilah yang membedakan dengan organisasi lain.
HMI dulu telah mampu mencetak kader-kader bangsa yang militant dan dapat memberikan konstribusi besar terhadap ummat dan bangsa Indonesia. Dimana eksistensi dan keberadaan kader-kader HMI tidak lagi di ragukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta di tengah-tengah dunia perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan, hal ini perlu menjadi kajian kritis bahwa HMI kini telah mengalami ombak hantaman pragmatisme, sehingga banyak tudingan yang mengatakan HMI tidak lagi mampu mengembangkan peran yang luas dan terbuka seiring dengan perkembangan dinamika kampus, berbangsa, dan bernegara.
Eksistensinya HMI hari ini sangat dipertanyakan kembali dan dinilai tidak lebih sebagai organisasi pinggiran yang bergerak dengan cara kekuasaan ansi. HMI seolah gagal menciptakan kader pemimpin yang hanya untuk dapat lolos dari jebakan birokrasi dan kekuasaan melalui kepemimipinan Orde Baru hingga kini. Relitas ini cukup meresahkan, khususnya bagi mereka yang pernah berkiprah dan memiliki romantisme dengan organisasi ekstrauniversiter terbesar itu, masa kejayaan HMI yang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, tampaknya akan sulit terulang kembali. Bukan saja karena kekuatan HMI yang semakin surut, melainkan juga karena ia tidak lagi menjadi organisasi prestisius yang berprestasi.
HMI kini secara bertahap menjadi sesuatu yang asing, bahkan dikalangan mahasiswa Islam sekalipun. Banyak mahasiswa yang sekarang ini menjadi aktivis Masjid kampus atau kelompok studi agama enggan bergabung dengan HMI, meskipun mereka memiliki tujuan perjuangan yang sama. Walaupun HMI pernah menjadi besar dan banyak alumninya menjadi “orang besar” dalam pemerintahan, namun latar belakang historis dan segala contoh yang baik dan buruk dari para pendahulunya tampak kurang menjadi pendorong bagi anggota HMI sekarang untuk memacu prestasinya. Hal ini memunculkan penilaian yang agak kritis bahwa kader HMI lebih pintar berdebat, sementara dalam karya nyata “nol besar.”
Kalau dahulu banyak gagasan intelektual yang muncul dari para kadernya mewarnai pemikiran pembaruan Islam di Indonesia, yang mencapai puncaknya pada era 1970-an ketika Nurcholis Madjid tokoh muda yang sangat menonjol ketika itu melontarkan gagasan tentang medernisasi dan sekularisasi pemikiran Islam, yang kemudian terkenal dengan kredo “Islam Yes, Partai Islam No.” Maka, boleh dikatakan bahwa HMI kini hanya memunculkan segelintir sosok yang perannya hanya sebagai subordinar, bukan tokoh sentral penentu. Tantangan zaman yang menjadikecenderungan perkembangan global sekarang ini menuntut HMI sebagai organisasi kemahasiswaan untuk dapat membaca dan memantau kearah mana kecenderungan itu berkembang. Dengan demikian, dapat secara tepat merumuskan antisipasi terhadap kecenderungan global tersebut, baik perkembangan makrostruktur politik maupun melalui microstruktur programnya. Barangkali yang juga menjadi penting adalah bagaimana mempersiapkan organisasi HMI untuk selalu berfikir analitis, prediktif, dan visioner agar dapat berkiprah sesuai dinamika kekinian dan tantangan masa mendatang.
Akhirnya dalam konteks ini, HMI sekarang harus berupaya keras merebut kembali tradisi intelektual yang pernah dimilikinya pada era 1960-an hingga awal 1970-an. Prinsip kembali ke kampus (back to campus) harus dipupuk melalui berbagai format aktivitas kemahasiswaan. Dalam hal ini orientasi kualitas harus dikedepankan daripada orientasi kuantitas. Keberhasilan dalam perumusan kembali atau reorientasi tujuan jangka panjang organisasi HMI dapat terwujud jika HMI memiliki kemampuan dalam memahami, menguasai, dan mengarahkan potensi kekuatan yang selama ini pernah dimiliki HMI, yakni konsistens, integralitas, wawasan keislaman, kebangsaan, tradisi intelektual, dan independensinya. Untuk mencapai tujuan besar yang dicita-citaklan organisasi HMI, barang kali perlu dikaji kembali lebih jauh kemungkinan HMI dapat memosisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan nonformal, tempat menempa anggotanya menjadi insan akademis yang berkualitas di tengah-tengah umat dan bangsanya.
Wallahu a’ lam bishshawab..
Dengan Ridho Allah Yakin Usaha Sampai
di 08.54 0 komentar
Terpendam Rasa
Matanya Bulan, tajam menatapku.
Tak ada keraguan di balik matanya. Sangat Meyakinkan.
Sesaat, Ia tampak tersenyum kearah ku, tapi kemudian ia dengan lugas menghapusnya dan kemudian kembali Mencakar ingatanku dengan lekat dan bulat – bulat.
“ Aku Kangen kamu ..”
Ucapnya lirih …
Aku terdiam.
Terdiam dalam kata yang terbungkam jiwa tak berarah.
“Tapi tak berapa lama lagi kamu ada di sini.”.. Bisik hatiku tanpa berucap.
Ia masih menatap.
Matanya pun masih bak Bulan.
Teduh merendahkan dalam buaiannya.
“ Mendekatlah” . bisikku mengharap.
“ ayo ..!!!!..” ajak ku yang kini mulai memaksa. Bahkan aku mulai meraung keganasan akibat deraian aura cinta yang ia semburkan dengan kencang.
“ Aku merindukanmu..” kini aku yang berucap.
“ Tapi aku lelah….” Desahnya di telinga ku.
“Kamu fakir, hanya diri mu saja yang mengagumi aku ? ..” ucapnya berlalu …
di 08.48 3 komentar