(Sebuah Refleksitas atas Gerakan HMI di Indonesia berwajah Lain dalam Quo Vadis HMI ke-63 Tahun) Tanggal 5 Februari 2010 rentang usiah yang cukup matang bagi sebuah organisasi mahasiswa ekstrauniversiter yang tertua di Indonesia yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mencapai usia 63 tahun, usia matang sebuah organisasi mahasiswa. Sejak berdiri 1947, HMI melewati lima zaman yang watak dan tantangannya berbeda dan terkristal dalam citra, budaya, network, dan sistem HMI seperti sekarang ini. Walaupun melewati berbagai zaman itu, normal atau kritis, cita-cita HMI ternyata tetap seperti ketika lahir, yaitu: (1) mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan NKRI, dan (2) menegakkan syiar Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dengan cita-cita itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menyatakan HMI, bukan saja berarti Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi juga, HMI (Harapan Masyarakat Indonesia). Namun apakah HMI mampu bertahan mepertahankan idealisme sebagai kader bangsa dan keder ummat atas panggung perjuangan ummat dan bangsa, seperti yang dicita-citakan yang memang layak untuk dikenang. Peran dan kepeloporan yang pernah dimainkan HMI dan para alumninya di masa lalu dapat dijadikan hikmah yang tersimpan bagi bekal perjalanan di masa mendatang.
Ketika didirikan 05 Februari 1947 lalu, HMI berdiri di bawah semangat keislaman dan keindonesiaan secara bersamaan dan sinergis, bukan dikhotomik. Dua semangat itu dikawinkan, diharmonisasi dan diracik dalam bentuk cita-cita dan tujuan HMI. Agar HMI tidak mati suri dalam hantaman ombak pragmatisme yang bergelombang, pertannyaan kemudian adalah sudahkah kader-kader HMI melanjutkan perjuangan yang di cita-citakan itu???; seberapa banyak mahasiswa islam yang mengikuti LK-1 (Latihan Kader) HMI di berbagai kampus-kampus pada kekinian, seberapa banyak kader-kader yang nongkrong di warung kopi untuk berpikir dalam sebuah realitas, berapa orang kader HMI yang suka diskusi, berapa orang kader HMI yang suka menulis, sudahkah anda merebut perubahan, sudahkan anda menorehkan idemu di media, sudahkah anda berkarya, sudahkah anda melakukan tindakan yang cuanter terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat kecil local maupun nasional, sudahkah anda berjuang untuk kaum mutadh’afin, sudahkah anda diakui punya prestasi di kampus, sudahkah HMI mencetak kader-kader sarjana yang predikat cum law, sudahkah kader HMI yang tugas akhir (Skripsinya) di perdebatkan oleh para akademisi maupun intelektual, sudahkah pemikiran anda di pergolakan dengan sintesis lain, dan sejauhmana eksistensi dan idealisme anda di petaruhkan demi kebenaran dan keadilan yang konon anda suda belajar di lingkungan HMI hari ini. Jangan-jangan anda salah masuk dalam organissi? Ingat HMI adalah salah satu organisasi onderbounw kepemudaan dan kemahasiswaan yang bertujuan : “ Terbinanya insane akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang di ridhoi oleh Allah SWT” (Konstitusi PB.HMI).
Memang secara statistic dan kuantitas tidak begitu penting, dalam ukuran perkaderan tetapi kita perlu melakukan sebuah indicator-indikator untuk mengetahui sejauh mana aktivis HMI yang masih berada pada ruang-ruang intelektual, independen dan perjuangan seperti yang di cita-citakan sebelumnya. Melihat perjalanan HMI dengan 8 faktor latar belakang berdirinya HMI, Tujuan HMI yang pertama sampai kongres di Palembang masih tetap kokoh, tujuh butir pemikiran awal HMI yaitu (Aspek poltik, pendidiakan, budaya, ekonomi, hokum, da’wah islam, dan keharusan pembahuruan islam) (Lihat Agus Sitompul; “Pemikiran HMI dan Relefansisnya dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia”. 1997.hlm:58), Tafsir Tujuan, AD/ART HMI, NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan), Indenpendensi HMI yang selalu menyertai karakter, nilai dan potensi yang sangat menjiwai perjalanan HMI sebagai organisasi mahasiswa islam, sehingga kader HMI mampu membiasakan nuansa-nuansa intelektual dan selalu actual, maka jati diri dan karakter HMI inilah yang membedakan dengan organisasi lain.
HMI dulu telah mampu mencetak kader-kader bangsa yang militant dan dapat memberikan konstribusi besar terhadap ummat dan bangsa Indonesia. Dimana eksistensi dan keberadaan kader-kader HMI tidak lagi di ragukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta di tengah-tengah dunia perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan, hal ini perlu menjadi kajian kritis bahwa HMI kini telah mengalami ombak hantaman pragmatisme, sehingga banyak tudingan yang mengatakan HMI tidak lagi mampu mengembangkan peran yang luas dan terbuka seiring dengan perkembangan dinamika kampus, berbangsa, dan bernegara.
Eksistensinya HMI hari ini sangat dipertanyakan kembali dan dinilai tidak lebih sebagai organisasi pinggiran yang bergerak dengan cara kekuasaan ansi. HMI seolah gagal menciptakan kader pemimpin yang hanya untuk dapat lolos dari jebakan birokrasi dan kekuasaan melalui kepemimipinan Orde Baru hingga kini. Relitas ini cukup meresahkan, khususnya bagi mereka yang pernah berkiprah dan memiliki romantisme dengan organisasi ekstrauniversiter terbesar itu, masa kejayaan HMI yang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, tampaknya akan sulit terulang kembali. Bukan saja karena kekuatan HMI yang semakin surut, melainkan juga karena ia tidak lagi menjadi organisasi prestisius yang berprestasi.
HMI kini secara bertahap menjadi sesuatu yang asing, bahkan dikalangan mahasiswa Islam sekalipun. Banyak mahasiswa yang sekarang ini menjadi aktivis Masjid kampus atau kelompok studi agama enggan bergabung dengan HMI, meskipun mereka memiliki tujuan perjuangan yang sama. Walaupun HMI pernah menjadi besar dan banyak alumninya menjadi “orang besar” dalam pemerintahan, namun latar belakang historis dan segala contoh yang baik dan buruk dari para pendahulunya tampak kurang menjadi pendorong bagi anggota HMI sekarang untuk memacu prestasinya. Hal ini memunculkan penilaian yang agak kritis bahwa kader HMI lebih pintar berdebat, sementara dalam karya nyata “nol besar.”
Kalau dahulu banyak gagasan intelektual yang muncul dari para kadernya mewarnai pemikiran pembaruan Islam di Indonesia, yang mencapai puncaknya pada era 1970-an ketika Nurcholis Madjid tokoh muda yang sangat menonjol ketika itu melontarkan gagasan tentang medernisasi dan sekularisasi pemikiran Islam, yang kemudian terkenal dengan kredo “Islam Yes, Partai Islam No.” Maka, boleh dikatakan bahwa HMI kini hanya memunculkan segelintir sosok yang perannya hanya sebagai subordinar, bukan tokoh sentral penentu. Tantangan zaman yang menjadikecenderungan perkembangan global sekarang ini menuntut HMI sebagai organisasi kemahasiswaan untuk dapat membaca dan memantau kearah mana kecenderungan itu berkembang. Dengan demikian, dapat secara tepat merumuskan antisipasi terhadap kecenderungan global tersebut, baik perkembangan makrostruktur politik maupun melalui microstruktur programnya. Barangkali yang juga menjadi penting adalah bagaimana mempersiapkan organisasi HMI untuk selalu berfikir analitis, prediktif, dan visioner agar dapat berkiprah sesuai dinamika kekinian dan tantangan masa mendatang.
Akhirnya dalam konteks ini, HMI sekarang harus berupaya keras merebut kembali tradisi intelektual yang pernah dimilikinya pada era 1960-an hingga awal 1970-an. Prinsip kembali ke kampus (back to campus) harus dipupuk melalui berbagai format aktivitas kemahasiswaan. Dalam hal ini orientasi kualitas harus dikedepankan daripada orientasi kuantitas. Keberhasilan dalam perumusan kembali atau reorientasi tujuan jangka panjang organisasi HMI dapat terwujud jika HMI memiliki kemampuan dalam memahami, menguasai, dan mengarahkan potensi kekuatan yang selama ini pernah dimiliki HMI, yakni konsistens, integralitas, wawasan keislaman, kebangsaan, tradisi intelektual, dan independensinya. Untuk mencapai tujuan besar yang dicita-citaklan organisasi HMI, barang kali perlu dikaji kembali lebih jauh kemungkinan HMI dapat memosisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan nonformal, tempat menempa anggotanya menjadi insan akademis yang berkualitas di tengah-tengah umat dan bangsanya.
Wallahu a’ lam bishshawab..
Dengan Ridho Allah Yakin Usaha Sampai
Innalillahi….? “HMI Telah Mati” (refleksi dalam milad HMI ke-63th)
juniantama ade putra
di 08.54
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar