Renungan di Hari Jumat, semoga bermanfaat
Saya selalu senang mendengar cerita teman-teman saya tentang keluarga mereka. Ibu-ibu bercerita tentang anak-anak, tentang suami mereka, mertua atau tetanggga mereka. Tidak untuk menggosip atau membuka aib, tetapi untuk menyerap ilmu dan pengalaman berharga yang telah mereka alami tapi belum pernah saya rasakan.
Dari berbagai topik obrolan, yang paling menarik menurut saya adalah cerita keluarga dari sudut pandang seorang ayah.
Ada salah satu obrolan yang sangat berkesan buat saya, ketika seorang teman saya, sebut saja Pak Abi, ia bercerita tentang anak lelakinya yang sekarang sudah sekolah TK.
Suatu hari dia kewalahan menjawab pertanyaan anak sulungnya. Pasalnya, seorang pemuda tetangga mereka ditangkap oleh polisi dan penangkapan tersebut diiringi dengan tembakan peringatan. Medengar letusan senjata api Pak Abi berlari keluar untuk cari tahu tentang kejadian itu. Saat kembali ke rumah ia diserbu pertanyaan dari anaknya.
“Abi, tadi ada apa? Kok ada bunyi senapan?” tanya sang anak.
“Ada orang jahat ditangkap polisi,” jelas Pak Abi singkat.
“Siapa, Abi? Aku kenal nggak Bi?” kerjarnya penuh rasa ingin tahu.
“Orang belakang. Kamu nggak kenal.” ujar Pak Abi.
Tapi sang anak belum menyerah. “Namanya siapa sih, Bi? Biar aku tau.”
Kali ini dengan tegas Pak Abi menjawab, “Kamu nggak perlu tau!”
Dasar memang anak yang gigih, dengan cerdas ia kembali bertanya, “Memangnya Abi nggak suka kalau aku banyak tau?”
Dengan sabar Pak Abi melontarkan jawaban pamungkas. “Bukannya Abi nggak suka kamu banyak tahu, tapi nggak semua hal kamu harus tau.”
Cerita Pak Abi sampai disitu. Saya mendengar dengan serius dan sudah tidak sabar ingin bertanya.
“Pak, kenapa Bapak tidak kasi tau saja nama pemuda tersebut?” tanya saya. Saya benar-benar tidak mengerti, apa susahnya menjawab pertanyaan tersebut? Karena kalau saya berada di posisi Pak Abi, saya mungkin akan menyebutkan namanya dan ini menjadi alat yang saya gunakan untuk menakut-nakuti supaya dia tidak nakal.
“Kalau saya kasi tau, saya khawatir kejadian ini melekat dalam ingatannya. Ketika dia keluar rumah dan bermain dengan teman-temannya dia mungkin akan bercerita pada teman-temannya kalau Si X itu adalah orang Jahat.”
Saya mengangguk-angguk. Oh, begini rupanya cara mendidik anak, saya berkata dalam hati, mencoba mencerna semua penjelasan Pak Abi. Sesaat kemudian obrolan kami berganti topik. Giliran Pak Abi bertanya-tanya, mengapa anak-anak sekarang begitu berani bertanya, bahkan berani mendebat penjelasan orang tuanya.
“Padahal saya dulu waktu kecil pendiam. Nggak banyak ngomomong,” ujar Pak Abi.
Giliran saya yang memutar otak, “Mungkin karena dulu Bapak nggak ada kesempatan untuk banyak ngobrol dengan ortu kali, Pak?”
“Mungkin juga. Tapi saya rasa, karena sekarang saya memposisikan diri saya dengan anak saya adalah sebagai teman. Sementara dulu relasi saya dengan Bapak saya adalah relasi “Ayah-Anak”.
Saya mengangguk. Selama ini Pak Abi menurut saya adalah sosok ayah yang unik, dia membahasakan dirinya dan anaknya dengan sebutan “Aku dan Kamu”, bukan “Abi dan Kamu” atau “Ayah dan anak”. Awalnya saya merasa janggal, tapi saat itu saya melihat bahwa ini salah satu cara untuk meminimalkan kesenjangan dalam hubungan anak dan orang tua.
Tiba-tiba saya merasa iri. Saya membandingkan dengan diri saya, mengingat kembali bagaimana hubungan saya dengan Bapak. Tanpa mengurangi hormat dan bakti saya pada beliau, saya merasa “jarak” dengan Bapak terlanjur jauh. Jangankan menjadi “Teman”, menjadi “Ayah dan Anak” saja saya baru merasakannya setelah saya cukup dewasa. Jarang sekali komunikasi dua arah antara saya dengan Bapak. Meski sekarang saya berusaha mengambil hati beliau, dan beliau juga tampak seperti ingin memiliki kedekatan dengan saya namun itu tidak pernah bisa menebus puluhan tahun waktu yang terlewat. Mengingat ini membuat mata saya hangat dan bertelaga.
Bila kelak Allah ijinkan saya memiliki anak-anak, saya ingin anak-anak saya menjadikan Ayah dan Ibu mereka sebagai teman dan sahabat pertama mereka sebelum mereka menemukan teman di tempat bermain atau di sekolah. Ketika sahabat mereka datang dan pergi silih berganti, mereka selalu dapat menemukan sahabat sejati menunggu di rumah, siap mendengarkan segala curhat mereka kapan saja dan tentang apa saja.
Saya kurang tahu, apakah menjadi ayah dari seorang anak perempuan lebih mudah daripada menjadi Ayah dari seorang anak laki-laki. Tapi apapun amanah yang Allah percayakan, semoga hanya saya anak Laki laki terakhir di dunia ini yang pernah merasakan “berjarak” dengan ayahnya sendiri, dan tidak ada lagi ayah di dunia ini yang menyesal di hari tuanya karena hanya sedikit atau bahkan tidak mengenal putra-putri mereka.
Salam hormat buat Ayahanda tercinta, serta seluruh lelaki yang telah menjadi ayah. Kami, anak-anakmu, tidak hanya membutuhkan materi, tapi kami butuh pelukan, usapan di kepala atau sekedar sedikit waktu untuk menyawab pertanyaan kehidupan yang semakin pelik.
Ayah, Jadilah Sahabatku
juniantama ade putra
di 09.35
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar